Sabtu, 03 Agustus 2013

PERKEMBANGAN DAN PEMIKIRAN FIQIH_

http://adehumaidi.com/pendidikan/aspek-pemikiran-islam-bidang-fiqih-oleh-thoat-haryanto-s-pdi






    Ada pendapat yang menyebutkan bahwa fase sesudah Khulafaur Rasyidin merupakan fase sahabat kecil dan fase tabi’in (dinasti Umayyah sampai akhir abad I hijry).  Tetapi dari beberapa literatur sejarah kecil dan sejarah tabi’in, periode tersebut tidak dimasukkan sebagai periode  tersendiri melainkan menjadi bagian yang erat sebagai satu kesatuan dengan periode sahabat sampai datangnya zaman renaissance hukum Islam.  Dinamika pemikiran hukum Islam mencapai masa keemasan setelah runtuhnya Daulah Bani Umayyah. Munculnya daulah Bani Abbasiyah memberikan angin segar bagi perkembangan hukum Islam karena perhatian para khalifah yang begitu tinggi. Inilah yang kemudian menjadikan hukum Islam berkembang dengan dinamis. Pada masa ini, lahir para pakar hukum Islam dengan sumbangan-sumbangan pemikiaran mereka yang berharga dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam.
Pada masa Khulafaur Rasyidin, prinsip-prinsip ijma’ dalam fiqih berkembang dan ijtihad menjadi prinsip independen fiqih. Setelah itu muncul prinsip Madzhab yang pada dasarnya merupakan faham masing-masing khalifah. Istilah madzhab sebenarnya dapat di runtut dari dimensi evolutifnya semenjak masa Nabi Muhammad saw yang pada masa itu Nabi Muhammad saw adalah sumber otoritatif  hukum Islam. Segala hal yang berkaitan dengan wahyu, interpretasi dan respon terhadap berbagai persoalan, dikembalikan  kepada al-Qur’an dan Nabi.
Dinamika sosial politik memiliki pengaruh luas, termasuk dalam perkembangan pemaknaanmadzhab.  Pada masa awal periode Umayyah, ulama fiqih terbagi ke dalam dua aliran; ahlul ra’yu dan ahlul hadits. Dua madzhab ini berkembang dan menjadi titik awal bagi perkembangan madzhab pada masa berikutnya. Dua madzhab ini kemudian berkembang menjadi beberapa madzhab baru, terutama setelah perubahan system pemerintahan Islam. Pada system baru (monarki), pemimpin tidak lagi menjadi rujukan madzhab. Perkembangan madzhab semakin pesat seiring penyebaran utama kewilayah Islam yang semakin luas.
Berikut ini adalah beberapa madzhab fiqih yang berkembang dalam islam.
1.      Madzhab Ja’fariyah
Pendiri madzhab ini adalah Imam Ja’far Ash-Shiddiq (80-146 H / 699-765 M). Nama aslinya Ja’far bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Ibunya masih keturunan Abu Bakar as-Shiddiq, yakni Ummu Farwah binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Shiddiq. Dalam doktrin Syi’ah, beliau adalah imam ke IV. Beliau merupakan ilmuan tertemuka, banyak bidang keilmuan yang ia geluti, diantaranya fiqh, filsafat, tasawuf, kimia dan kedokteran. Dalam ilmu tasawuf, beliau mendapat maqomat yang tinggi sebagai guru syeikh dan penemu tarekat, bahkan tarekat yang berkembang di Indonesia (Naqsabandiyah/Qodariyyah/Samaniyah, dll) seringkali menyebut namanya untuk melakukan ritual tasawuf. Muridnya yang paling terkemuka adalah Jabir bin Hayyan, seorang ahli kimia dan kedokteran.
Menurut madzhab ini, yang menjadi sumber tasyri’ pada madzhab Ja’fari adalah al-Qur’an, sunnah, Ijma’ dan akal. Orang yang dapat meriwayatkan sunnah hanya terbatas pada periwayatan yang dilakukan oleh ahlul bait saja, sedangkan yang menjadi objek sunnah adalah diri Nabi dan para Imam mereka. Dan yang dimaksud dengan ijma’ adalah ijma’ dikalangan mereka sendiri.
2.      Madzhab Hanafiyah
Pendiri mazhab Hanafi ialah : Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Dilahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan : Abu Hanifah An Nu’man.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama tabi’in seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar. Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak . Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in.
Dalam mengistimbathkan hukum, Abu Hanifah berpegang pada al-Qur’an dan sangat berhati-hati dalam menggunakan Sunnah. Selain itu, ia banyak menggunakan qiyas, istihsan, dan urf. Menurut Manna’ al-Qatthan, Abu hanifah juga mengumpulkan hadits dalam sebuah buku yang di sebut  Musnad Abu Hanifah.
3.       Madzhab Malikiyah
Mazhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia. Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah : Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW.
Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.
Sumber hukum madzhab Malik adalah: al-Qur’an, sunnahIjma’ ahli Madinah, fatwa sahabat,qiyasmashlahah al-mursalahkhabar ahadistihsansadd al-zara’imura’at al-khilafmujtahidin,  istishab, dan syar’man qablana. Madzhab Maliki terbesar di maroko, al-Jazair, Mesir, Tunisi, Sudan, Spanyol, Kuait, Qatar dan Bahrain.
 4.       Madzhab  Syafi’iyyah
Mazhab ini dibangun oleh Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib. Beliau lahir di Guzah tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama. Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup menghafal Al Qur-an pada usia sembilan tahun. Setelah beliau hafal Al Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir ; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Mazhab Syafi’i terbagi menjadi dia berdasarka kurun waktu dan tempat beliau mukim. Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidup di Irak. Dan yang kedua ialah Qaul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir sepindah beliau dari Irak. Keistimewaan Imam Syafi’i ialah beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Nama kitabnya dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya ialah : Al-Umm.
Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum syara’ adalah :  al-Qur’an, sunnah, ijma’ qiyas, istidlal. Imam Syafi’I adalah orang yang sangat gencar mengkritisi para ulama yang memakai kaidah istihsan yang tidak pada tempatnya.
 5.       Madzhab Hanabilah
Pendiri Mazhab Hambali ialah : Al Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain : Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrah. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam  musnadnya.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah: al-Qur’an hadits shahih, fatwa sahabat, hadits hasan atau dha’if dan qiyas. Alasan mendahulukan hadits dha’if dari padaqiyas adalah pernyataan beliau: “berpegang kepada hadits dha’if lebih saya sukai dari pada qiyas”. 
6.      Madzhab Zhahiriyah
Didirikan oleh Imam Daud bin Ali al-Ashbahani (202-270). Dinamakan Zhahiriyah, Karena dalam menetapkan hukum lebih cenderung berdasarkan kepada arti literal (zhahir) dari nash. Madzhab ini pernah berkembang di Spanyol sekitar abad V H yang dikembangkan oleh Ibn Hazm (wafat 456/1085M). Pada mulanya, Daud Adh-Dhahiri bermadzhab Syafi’iyyah, namun karena Imam Syafi’i berpendapat bahwa nash dapat dipahami secara tersurat dan tersirat, sedangkan menurut Daud, syari’at itu terkandung hanya dalam nash, tidak ada wilayah ra’yu (pendapat akal) dalam syari’at, maka ia keluar dari madzhab Syafi’iyyah dan mendirikan madzhab baru. Demikian juga tentang qiyas, Daud tidak menerima qiyas, sementara Syafi’I memakainya.
Menurut Daud: “Orang yang pertama menggunakan qiyas adalah Iblis”. Perlu dipahami, bahwa lahirnya aliran pemikiran fundamentalis seperti Dzahiriyah ini akibat dari derasnya arus pemikiran liberal yang dikembangkan oleh madzhab rasional, dan yang dikembangkan oleh Dzahiri sendiri adalah  Ad-Dalil

DINAMIKA PEMIKIRAN FIQIH DALAM KONTEK PERUBAHAN SOSIAL

Fiqih sebagai fakta sosial merupakan peristiwa yang bersumber dari manusia, baik sebagai perilaku pribadi maupun sebagai perilaku sebuah komunitas. Dalam perjalanan fiqih sejak lahirnya (masa Nabi) sampai sekarang ini, fiqih mengalami pergulatan yang cukup intensif seiring dengan dinamika masyarakat itu sendiri. Terjadi pergulatan paradigma pemikiran fiqih tidak dapat terlepas dari pertautan agama itu sendiri yang dipahami dan diamalkan masyarakat dan faktor eksternal sebagai kondisi yang mempengaruhi.
Menurut Azra dalam kata pengantar buku “Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam” karangan Yayan  Sopyan, untuk memahami dinamika transformasi hukum Islam kedalam tatanan sosial, kita perlu lebih dahulu mengetahui hubungan antara hukum Islam dan perubahan sosial. Dengan cara ini, dapat dilihat bahwa hukum Islam tidak alergi terhadap peruahan sosial, sekaligus bisa dibangun kerangka kerja bagi upaya mengembangkan system hukum yang responsif. Dengan kerangka berfikir demikian maka statement yang dibangun adalah menanggalkan watak hukum yang cenderung berjarak dengan realitas.
Dengan hukum yang responsive, hukum Islam tidak menjadi “tuan kaum mayoritas”, tetapi sebaiknya dapat melahirkan tatanan kehidupan masyarakat yang kuat dan berkeadilan, sekaligus menghargai pluralitas dan kemanusiaan universal. Di dalam masyarakat pluralistik, transformasi hukum Islam adalah keniscayaan. Dan ini sangat mungkin, karena terdapat hamparan fleksibilitas hukum Islam, sebagaimana pernah di kembangkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnyaI’lam al-Muwaqi’in; dengan teori yang kita kenal dan sudah menjadi klasik; Ibnu Qayyim menekankan bahwa perubahan hukum erat kaitannya dengan waktu, tempat, keadaan, dan motivasi pembuat hukum.
Karena itu, tidak ada alasan melihat berbagai perubahan dan perkembangan baru sebagai “ancaman” bagi hukum Islam. Sebaliknya, perubahan dan perkembangan baru dapat merupakan modal dasar untuk mengembangkan hukum Islam secara adaptif. Dan pada gilirannya, hukum Islam dapat bermuara pada titik paling sempurna yaitu kemaslahatan manusia.
Ulama-ulama generasi terdahulu kita telah mewariskan kepada kita koleksi-koleksi buku keilmuan yang tak ternilai dari hasil ijtihad-ijtihad mereka terutama pada bidang fiqih dalam pelbagai aspek kehidupan praktis yang dapat memenuhi segala kebutuhan manusia di semua masa dan tempat. Berkat usaha dan jeri payah mereka ini, fiqih menjadi seperti bangunan yang besar. Fiqih Islam mengatur segala hubungan, membatasi setiap hak dan kewajiban, menjelaskan setiap hukum dan juga membahas hubungan antar hamba dan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dalam aspek sosial ekonomi, perdata dan pidana, kondisi-kondisi individu, politik kenegaraan, keuangan, administrasi dan peradilan.
Seiring perjalan waktu persoalanpun semakin komplek, dan ini tentunya  akan membutuhkan pemecaham masalah berdasarkan nilai-nilai agama. Disinilah letak betapa pentingnya rumusan ideal moral maupun formal dari fiqih tersebut, yang tidak lain bertujuan untuk menjaga keutuhan nilai ketuhanan, kemanusian dan alam, terutama yang menyangkut aspek lahiriyah kehidupan manusia di dunia. Bangunan fiqih yang besar yang telah dibangun oleh para fuqaha bukan berarti tidak memberikan ruang kepada generasi yang sesudahnya untuk melakukan pembaharuan yang sesuai dengan kontek sosial yang berkembang, bahkan sebaliknya fiqih sebagai “rambu-rambu lalu lintas” kehidupan mampu mengantarkan manusia menuju tempat yang baik bagi keberlangsungan manusia sebagi makhluk terbaik.